EDARAN.ID – Isu boikot pro Israel semakin memperparah kondisi Unilever saat ini.
Itu menambah rekam jejak Unilever, yang pertumbuhannya sangat lamban sejak beberapa tahun terakhir.
Ini menjadi tekan berat untuk Kepala eksekutif Unilever yang baru, Hein Schumacher.
Hein Schumacher sendri baru bekerja sekitar 100 hari sebagai kepala eksekutif.
Dikutip dari Bursa Efek Indonesia, Rabu(13/12/2023), investor utama Nick Train pekan lalu secara terbuka memperingatkan bahwa grup ini berisiko dipecah.
Itu dilakukan jika kemajuan tidak segera terlihat dalam internal Unilever.
Isu pemecahan itu sebenarnya memicu perdebatan.
Sebelumnya, Unilever dibentuk pada 1929 melalui penggabungan perusahaan margarin Belanda dan pembuat sabun Inggris.
Namun fortofolio Unilever terus membengkak setelah melakukan serangkaian akuisisi selama beberapa dekade.
Saat ini Unilever memiliki lebih dari 400 merek, mulai dari pemutih Domestos dan sabun mandi Radox hingga balok kaldu Knorr, serta es krim Ben & Jerry.
Meskipun keragamannya telah membantunya mengatasi penurunan di sektor-sektor tertentu, para kritikus mengatakan kondisi ini membuat Unilever tidak fokus.
“Tidak banyak perusahaan yang memiliki struktur serupa,” kata analis Barclays, Warren Ackerman, dilansir dari The Telegraph.
Masalah utama Unilever adalah merek-mereknya kalah bersaing dengan kompetitor.
Hanya 38% dari portofolio globalnya yang memenangkan pangsa pasar, padahal seharusnya angkanya bisa mendekati 50% hingga 60%.
Baru-baru ini, Unilever telah menata ulang organisasinya menjadi lima divisi dengan laporan laba rugi masing-masing.
Hal ini bisa dibilang membuatnya sangat siap untuk dipecah.
Meskipun demikian, tidak semua pihak setuju Unilever dipecah.
James Edwardes Jones dari RBC Capital, seorang pengamat Unilever, mengatakan langkah tersebut tidak akan memberikan manfaat yang signifikan.***